Kamis, 23 Desember 2010

Kutipan Tentang Hak Cuti Haid Pekerja Perempuan

sumber :http://www.suaramerdeka.com/smcetak/index.php


30 April 2008
Hak Cuti Haid Kurangi Profesionalisme Pekerja?

DALAM perbincangan belum lama ini, terjadi perdebatan mengenai perlu tidaknya cuti haid bagi perempuan pekerja. Bincang-bincang itu melibatkan pekerja perempuan, perwakilan perusahaan, dan aktivis pembela hak-hak perempuan.

Ternyata, tidak semuanya setuju ada cuti haid. Bahkan, ada pekerja perempuan sendiri yang mengatakan tindakan mengambil cuti haid menandakan ketidakprofesionalan perempuan dalam bekerja.

Merujuk Undang-undang No 13 Tahun 2003 tentang Ke-tenagakerjaan, Pasal 81 menyebutkan, idealnya setiap perusahaan memberikan hak cuti haid kepada pekerjanya sebanyak satu hingga dua hari setiap bulan. Namun, belum semua perusahaan menetapkan aturan itu.

Ada pula yang mencantumkannya dalam peraturan perusahaan, namun terkesan mempersulit pelaksanaannya. Berbagai prosedur yang terkadang tak masuk akal harus dilalui sebelum akhirnya perusahaan memberikan cuti kepada pekerjanya.
Lina, mahasiswi Universitas Padjajaran Bandung yang pernah bekerja di pabrik sepatu mengatakan, ada pabrik yang menuntut buruh perempuannya harus memperlihatkan pembalut yang dipakainya sebelum memberikan cuti haid.

Cuti haid merupakan hak setiap perempuan pekerja, terutama bagi mereka yang mengalami keluhan sakit saat menstruasi. Memang, tidak semua pe-rempuan mengalami keluhan haid, namun hak cuti itu tetap berlaku, terserah apakah hak itu akan mereka gunakan atau tidak. Saat cuti, perusahaan harus tetap membayar penuh gaji.

Bagi perempuan yang bekerja di kantor yang nyaman dan berpendingin ruangan, dengan akses menuju kamar mandi yang mudah, mungkin haid bukan menjadi hambatan. Namun, akan sangat berbeda keadaannya dengan para buruh yang harus melakukan pekerjaan selama tujuh hingga delapan jam dengan pengawasan ketat dari mandor, sehingga ia tidak dapat leluasa bahkan hanya untuk mengganti pembalut di kamar mandi.

Banyak perusahaan yang sangat ketat memberlakukan cuti haid ini, karena khawatir akan disalahgunakan untuk membolos. Namun, sebenarnya hal itu dapat diatasi dengan mendata periode menstruasi setiap karyawan perempuan. Data ini memberikan informasi kapan waktu ia mendapat haid, sehingga diketahui apakah karyawan yang meminta cuti haid benar-benar sedang mens atau ia hanya menjadikannya alasan untuk membolos kerja.

Dari data cuti haid yang dicatat perusahaan, bisa diketahui tingkat kesehatan karyawan perempuannya. Jika ter-nyata setiap bulan ada karyawan yang terus saja mengambil cuti haid, bisa diarahkan untuk menjalani pemeriksaan lebih lanjut, karena bisa saja, itu pertanda penyakit serius.

Jika alasannya perusahaan takut merugi, karena produktivitas karyawan berkurang, hal itu berarti perusahaan telah melanggar hak karyawan.

Belum Jalan

Berbagai hambatan mengahadang pemberlakuan undang-undang ini secara maksimal. Seringkali karena keterbatasan, hak itu diabaikan. Jaminan hak cuti hanya berlaku bagi karya-wan yang bekerja secara bulan-an. Ketika upah pekerja dihitung secara harian, pasti banyak yang memaksakan diri tetap bekerja, meski kondisi tubuh tidak fit saat haid, demi mendapatkan upah yang lebih baik.

Juga, seringkali perempuan pekerja sendiri yang tak paham dengan haknya, terutama kalangan karyawan rendahan tak berpendidikan. Hal ini disebabkan kurangnya informasi yang diberikan perusahaan mengenai hak-hak para pekerja. Kalaupun ada yang tahu, seringkali mereka takut untuk meminta haknya, karena khawatir akan memengaruhi upah.

Serikat pekerja yang seharusnya membela hak-hak karyawan, masih sibuk memperjuangkan kenaikan upah yang masih sangat rendah. Sementara pemerintah dan masyarakat kurang menaruh perhatian pada isu-isu perburuhan.

Selain itu, posisi tawar para pekerja sangat rendah. Dengan tingkat pengangguran yang sangat tinggi, perusahaan dapat dengan seenaknya memecat karyawan yang dinilai tidak produktif, karena dengan mudah ia dapat mencari karyawan baru yang mau diupah rendah. (37)

– Farodlilah Muqoddam, mantan aktivis pers mahasiswa Unnes

Tidak ada komentar:

Posting Komentar